Jun 27, 2011

HAKIKAT DAN RUANG LINGKUP EKONOMETRIKA



1.1.APA ITU EKONOMETRIKA?
- Ekonometrika didefenisikan sebagai ilmu sosial dimana perangkat teori ekonomi, matematika, dan statistic inferensial diterapkan dalam menganalisis fenomena ekonomi.
- Ekonometika sebagai suatu hasil dari suatu hasil tinjauan tertentu tentang peran ilmu ekonomi, mencakup aplikasi statistic matematik atas data ekonomi guna memberikan dukungan empiris terhadap model yang disusun berdasarkan matematika ekonomi serta memperoleh hasil berupa angka-angka.

1.2.MENGAPA KITA PERLU MEMPELAJARI EKONOMETRIKA?
                  Ekonometri memberikan muatan empiris (yaitu berdasarkan observasi atau eksperimen) terhadap hampir semua ilmu ekonomi. Jika dalam suatu studi atau eksperimen kita menemukan bahwa ketika harga satu unit barang/jasa naik sebesar satu dolar dan jumlah permintaan turun, katakanlah, 100 unit, maka kita bukan hanya menegaskan kaidah tentang permintaan, melainkandalam proses tersebut kita juga memberikan taksiran angka-angka mengenai hubungan antara kedua variable (harga dan jumlah permintaan atau kuantitas).
                  Bagi mahasiswa jurusan ekonomi dan manajemen (bisnis), ada alasan pragmatis dalam mempelajari ekonometrika. Sesudah lulus, dalam melakukan pekerjaannya, mungkin saja mereka diminta untuk meramalkan penjualan, tingkat suku bunga, dan jumlah uang beredar atau menaksir fungsi permintaan dan penawaran ataupun elastisitas harga suatu produk. Pakar ekonomi sering diminta menjadi konsultan oleh lembaga legislasi pusat (DPR) maupun daerah (DPRD) untuk kepentingan klien mereka ataupun kepentingan sebagian besar masyarakat. Jadi, pakar ekonomi yang menjadi konsultan bagi komisi DPRD yang bertugas mengendlikan harga BBM dan listrik mungkin diminta untuk menilai dampak kenaikan harga yang diusulkan terhadap jumlah permintaan akan listrik sebelum komisi tersebut menyetujui kenaikan harga BBM dan listrik. Dalam situasi semacam ini, para ekonom mungkin perlu mengembangkan fungsi permintaan akan listrik, yang akan memungkinkannya untuk menaksir elastisitas harga atas permintaan ; dalam hal ini, persentase perubahan jumlah yang diminta untuk setiap persentase perubahan harga. Pengetahuan tentang ekonometrika akan sangat membantu di dalam menaksir fungsi permintaan semacam itu.

1.3.METODOLOGI EKONOMETRIKA
Pada umumnya, analisis ekonometrika mengikuti metodologi berikut.
1.Membuat pernyataan teori atau hipotesis;
2.Mengumpulkan data;
3.Menentukan model matematis dari teori tersebut;
4.Menentukan model statistic, atau ekonometri, dari teori tersebut;
5.Menaksir parameter-parameter dari model ekonometri yang dipilih;
6.Memeriksa kecocokan model: pengujian spesifikasi model;
7.Menguji hipotesis yang didasarkan dari model;
8.Menggunakan model untuk melakukan prediksi atau peramalan.

a.d.1.Membuat Pernyataan Teori atau Hipotesis
               Langkah awal adalah mencari teori ekonomi yang cocok dengan topik yang ingin dipelajari. Kemudian membuat 2 hipotesis yang saling berbeda  yakni seperti HO dan H1.
Untuk mengetahui pengaruh kedua variabel, itu dapat ditentukan berdasarkan hipotesis yang lebih dominan. Bagaimana kita menentukan hipotesis mana yang lebih dominan? Maka inilah yang menjadi pertanyaan empiris.

a.d.2.Mengumpulkan data
Untuk keperluan empiris, kita perlu informasi kuantitatif tentang kedua variable. Ada 3 jenis data yang umumnya tersedia untuk keperluan analisis empiris.
*Data deret berkala (time series)
=>dikumpulkan selama kurun waktu tertentu, seperti data tentang PDB, kesempatan kerja, pengangguran, JUB, ataupun defisitanggaran belanja pemerintah.
Data ini bisa bersifat kuantitatif (misalnya harga, pendapatan,jub)  ataupun kualitatif (misalnya laki-laki atau perempuan).
*Data lintas-sektoral (cross-sectional)
=>data tentang satu atau lebih variabel yang dikumpulkan pada suatu waktu tertentu, seperti survey pengeluaran konsumen yang pernah dilakukan oleh University of Michigan, AS.
*Data kelompok (gabungan antara data deret berkala dan data linta sektoral)
=>dalam data ini kita memiliki unsur-unsur data deret berkala sekaligus juga data lintas sektoral. Sebagai contoh, jika kita harus mengumpulkan data tingkat pengangguran di 10 negara selama 20 tahun, maka data itu merupakan data kelompok, yakni data tingkat pengangguran di masing-masing negara selama 20 tahun merupakan data deret berkala, sedangkan data tingkat pengangguran di 10 negara untuk suatu tahun tertentu merupakan data lintas sektoral.
         Ada data kelompok yang sifatnya khusus, yaitu data panel/  data longitudinal/ data mikropanel, dimana unit lintas sektoral yang sama disurvei secara berkala.

Sumber Data.
Keberhasilan sebuah studi ekonometrika akan tergantung pada kualitas, maupun kuantitas data.

a.d.3.Menentukan Model Matematis untuk Teori Tersebut
Untuk mengetahui pengaruh kedua variabel, kita perlu menggambarkan data keduanya ke dalam diagram pencar (scatter diagram atau scattergram).
Dengan diagram pencar tersebut, kita bisa korelasi kedua variabel apakah positif atu negatif. Kemudian selanjutnya kita membuat taksiran awal dan membuat model matematis sederhananya.

a.d.4.Menentukan Model Statistic, atau ekonometri, dari Teori Tersebut
               Model matematis murni yang dirumuskan pada langkah sebelumnya tidak selalu benar adanya. Model semacam itu mengasumsikan suatu hubungan yang pasti (deterministik) antara kedua variabel tersebut. Padahal dalam kenyataan sering hubungan variabel tidak pasti atau bersifat statistik.
               Oleh karena hal di atas, maka kemungkinan pengaruh semua variabel lain dimasukkan ke model matematis tadi (sehingga menjadi model statistik). Semua pengaruh variabel lain diwakilkan dengan variabel “u” untuk menyatakan faktor kesalahan acak atau gangguan acak.
Model yang sudah ditambah dengan faktor variabel lain itu merupakan model statistic atau empiris atau ekonometri. Persamaan (model) itu merupakan salah satu contoh model regresi linear dan inilah yang menjadi topik utama  pembahasan.
               Dalam model ini terdapat 2 variabel yakni variabel tak bebas (dependent variabel),variabel yang berada di sisi kiri dan variabel bebas (independent variabel), variabel yang berada di sisi kanan atau variabel yang bersifat menjelaskan (explanatory variable).
               Dalam regresi ada hubungan sebab akibat. Apakah ini berarti bahwa kedua variabel pada model ekonometri memiliki hubungan sebab-akibat; dalam hal ini variabel independent merupakan faktor penyebab variabel independent sedangkan variabel dependent merupakan faktor akibat?Tidak selalu demikian keadaannya. Sebagaimana diuraikan oleh Kendall dan Stuart, “Suatu hubungan statistik, betapapun kuat dan meyakinkan, tidak dapat menentukan hubungan sebab-akibat : gagasan kita tentang hubungan sebab akibat tentulah berasal dari luar ilmu statistic, yaitu pada intinya berasal dari beberapa teori yang ada.”
               Jika hubungan sebab-akibat tidak dapat ditentukan, maka lebih tepat bila kita menyebutnya sebagai hubungan prediktif: Berdasarkan nilai variabel independent tertentu, dapatkah kita memprediksi besarnya variabel dependent?

a.d.5.Menaksir Parameter-parameter dari Model Ekonometri yang Dipilih
               Berdasarkan data yang ada bagaimana kita menaksir parameter-parameter dari model ekonometrika tadi, dalam hal ini bagaimana kita memperoleh angka-angka (hasil taksiran) dari kedua parameter ini? Ini akan menjadi focus bahasan di Bagian II, dimana kita mengembangkan metode yang cocok, terutama metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least-square/OLS).
               Dengan OLS kita mendapat persamaan yang masih merupakan taksiran dari model sebelumnya. Ini ditandai dengan “^” pada variabel dependentnya. Taksiran atas μ disebut sisa atau residual.
Garis regresi yang ditaksir, menyatakan hubungan antara variabel independent rata-rata dan variabel dependent.

Ad.6 Memeriksa Kecocokan Model : Pengujian Spesifikasi Model
               Perlu kita ingat lagi bahwa regresi tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat; teori yang relevan haruslah menentukan apakah salah satu  atau lebih variabel bebas memiliki hubungan dengan variabel tidak bebas.
               Pada tahap ini kita akan membuat regresi linear berganda dan kemudian juga membuat penaksiran empiris atas model yang ada pada langkah sebelumnya menggunakan metode OLS.
Maka model mana yang akan kita pilih, model pada langkah yang ke-6 ini atau model yang pada langkah ke-5 tadi? Karena model persamaan pada langkah ke-6 ini telah mencakup model yang ada pada langkah sebelumnya, maka kita pilih model pada langkah ke-6 ini.
               Lalu kita akan berhenti sampai mana? Variabel-variabel lain bisa jadi tersedia, namun kita mungkin tidak ingin memasukkan semua variabel tersebut ke dalam model karena tujuan pengembangan model ekonometri bukan untuk menangkap realitas secara keseluruhan, melainkan hanya segi-segi yang penting saja. Bila kita memasukkan semua variabel yang mungkin ke dalam model regresi, model tersebut akan menjadi susah dipakai dan sangat tidak praktis. Model yang dipilih akhirnya haruslah yang merupakan replika yang cukup masuk akal dari realitas yang sesungguhnya.

a.d.7.Menguji Hipotesis yang Dihasilkan dari Model
               Setelah akhirnya berhasil menetapkan sebuah model, kita mungkin ingin melakukan pengujian hipotesis. Dalam hal ini, kita mungkin ingin mengetahui apakah model yang ditaksir masuk akal dari sisi ilmu ekonomi dan apakah hasil yang diperoleh cocok dengan teori ekonomi yang mendasarinya.

a.d.8.Menggunakan Model untuk Melakukan Prediksi atau Peramalan
               Model yang kita taksir akan kita gunakan untuk  prediksi atau peramalan. Nantinya kita akan dapat membandingkan nilai prediksi dengan nilai aktual yang tersedia. Selisih antara kedua nilai tersebut menyatakan kesalahan prediksi. Tentu kita akan berusaha agar kesalahan prediksi itu sekecil mungkin.

TABEL. 1.1TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA SIPIL (TPAKS), ANGKA PENGANGGURAN SIPIL (APS), DAN RATA-RATA PENGHASILAN RIEL PER JAM (RPJ82)* DI AS UNTUK PERIODE 1980-2002
                    1980                                 63,8                 7,1                               7,78    
                    1981                                 63,9                 7,6                               7,69
                    1982                                 64,0                 9,7                               7,68
                    1983                                 64,0                 9,6                               7,79
                    1984                                 64,4                 7,5                               7,80
                    1985                                 64,8                 7,2                               7,77
                    1985                                 65,3                 7,0                               7,81
                    1987                                 65,6                 6,2                               7,73
                    1988                                 65,9                 5,5                               7,69
                    1989                                 66,5                 5,3                               7,64
                    1990                                 66,5                 5,6                               7,52
                    1991                                 66,2                 6,8                               7,45
                    1992                                 66,4                 7,5                               7,41
                    1993                                 66,3                 6,9                               7,39
                    1994                                 66,6                 6,1                               7,40
                    1995                                 66,6                 5,6                               7,40
                    1996                                 66,8                 5,4                               7,43
                    1997                                 67,1                 4,9                               7,55
                    1998                                 67,1                 4,5                               7,75
                    1999                                 67,1                 4,2                               7,86
                    2000                                 67,2                 4,0                               7,89
                    2001                                 66,9                 4,8                               7,99
                    2002                                 66,6                 5,8                               8,14
*RPJ82 menyatakan rata-rata penghasilan perjam berdasarkan harga konstan tahun 1982 

Langkah                                              Contoh
1.Pernyataan Teori                    Hipotesis Tenaga Kerja Bertambah/Berkurang                      
2.Pengumpulan Data                           Tabel 1.1
3.Model Matematis untuk Teori         TPAKS = B1 + B2APS
4.Model Ekonometri untuk Teori       TPAKS = B1 + B2APS + u
5.Penaksiran Parameter                     TPAKS = 69,9963 – 0,6513APS
6.Periksa Kecocokan Model     TPAKS= 80,9 – 0,67APS – 1,4RPJ82
7.Pengujian Hipotesis                         B2 < 0 atau B2  >  0
8.Prediksi/Peramalan                         Berapa besar TPAKS, pada nilai APS dan RPJ92 tertentu?
 

REFERENSI:
Gujarati, Damondar. “Essensial of Econometrics

FENOMENA REVOLUSI HIJAU KEDUA (Ekonomi Pertanian)


FENOMENA REVOLUSI HIJAU GENERASI KEDUA
            Hasil spektakuler dari Revolusi Hijau berupa peningkatan produksi dan produktifitas pertanian. Revolusi Hijau merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian secara besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan dan terobosan baru hasil penelitian di bidang pertanian yang berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengelolaan air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll. Hasil nyata yang dinikmati Indonesia yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, yang sayangnya terlepas kembali sejak awal dekade 1990-an ini.
            Data menunjukkan pada periode 1965-1984, tingkat pertumbuhan produksi padi, gandum, dan jagung dunia berturut-turut adalah 3,1 3,2 dan 2,8% per tahun. Angka tersebut menurun pada periode 1985-1991 menjadi 2,2 2,0 dan 0,0 %(FAO,1995). Kemungkinan besar penyebab menurunnya produktifitas tersebut adalah sumber-sumber pertumbuhan tersebut sudah terlalu jenuh (exhausted). Andalan utama Revolusi Hijau mungkin sudah mencapai titik jenuh. Juga investasi sarana dan prasarana irigasi mulai menurun terkait menurunnya penerimaan ekonomis yang dapat diperoleh oleh petani dan negara secara agregat.
            Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian itu telah masuk pada suatu fase yang mementingkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Perlu suatu lembaga untuk mempertahankan dan mencari sumber-sumber pertumbuhan baru di sector pertanian. Fase institusionalisasi proses produksi pertanian tersebut disebut Revolusi Hijau Generasi Kedua. Bab ini akan menguraikan fenomena Revolusi Hijau Generasi Kedua tersebut dan keterkaitannya dengan strategi dan kebijakan pangan nasional Indonesia.
Gambaran Pertumbuhan Produksi Pangan
            Prestasi swasembada beras Indonesia pada petengahan dekade 1980-an tersebut tercapai karena pertumbuhan produksi yang cukup tinggi. Angka pertumbuhan produksi padi tercatat sebesar 3,7% per tahun (1962-1970) serta 5,2% per tahun (1971-1983). Pertumbuhan produksi di Jawa sangat berkontribusi sangat dominan terhadap kinerja pertanian Indonesia secara keseluruhan. Pertumbuhan produksi pangan secara keseluruhan periode 1971-1983 adalah 4,4% per tahun, sedikit di atas produksi pangan di Jawa pada periode yang sama, yaitu 4,2%.
            Peranan pertambahan areal panen sangat signifikan terhadap pertumbuhan produksi beras dan bahan makanan tersebut. Laporan Tahunan Bank Dunia (1995) menunjukkan pada 1979-1993 pertumbuhan produksi bahan makanan per kapita Indonesia hanya 2,2% per tahun. Angka tersebut lebih rendah dari China(3,0%), Malaysia(4,3%), tapi lebih tinggi dari Thailand (0,0%), Jepang(-0,3%), AS(-0,3%) serta negara Afrika lain yang angka pertumbuhannya negatif.
            Dari data-data tersebut dapat ditarik generalisasi bahwa laju pertumbuhan produksi sektor pertanian mengalami perlambatan pada dasawarsa terakhir. Konversi lahan sawah produktif di Jawa menjadi kegunaan lain signifikan, karena konsumsi beras terus meningkat menurut waktu.
Fase Institusianalisasi Proses Produksi
            Fase institusionalisasi proses produksi di bidang pertanian lebih mengarah pada pemberdayaan perangkat kelembagaan dan sos-ek masyarakat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Jika sudah diketahui bahwa proses produksi telah berada pada fase peningkatan yang semakin menurun (the law of diminishing returns). Maka strategi pertumbuhan yang mempertimbangkan faktor kelembagaan dan sos-ek hampir mutlak.
            Dalam bahasa ekonometrika, kerangka analisis pada Revolusi Hijau Generasi Kedua pada hubungan input (sebagai peubah tetap) dan aspek kelembagaan dan sos-ek(sebagai peubah bebasnya). Fokus analisis lebih pada karakteristik model fungsi produksi batas atas (frontier production function model).
Peubah-peubah institusi yang mempengaruhi penggunaan input modern dapat dikelompokkan menjadi:
Akses terhadap sarana/prasarana public yang meliputi : jalan, sekolah, saluran irigasi;
- Kelembagaan pasar yang meliputi : pasar pupuk, kredit, tenaga kerja, dan pasar output;
- Penyebaran informasi pertanian;
- Struktur kepemilikan lahan serta sumber daya penting lainnya, seperti: sumur pompa dan traktor tangan; serta
- Karakteristik fisik seperti jenis, iklim, dan struktur sosial yang mendukungnya.
Penjelasan Secara Empiris
            Skenario di lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut : tingkat penggunaan pupuk, benih unggul, air irigasi, dan bahkan tenaga kerja luar keluarga sangat dipengaruhi oleh kondisi sarana dan prasarana setempat serta keempat faktor kelembagaan lainnya. Sebagaimana yang terjadi belakangan ini di beberapa tempat di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi oleh kelembagaan pasar pupuk serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi efektif pupuk, semakin rendah tingkat penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat mempengaruhi produktifitas pertanian. Semakin sempurna aliran informasi tersebut sampai pada petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan lahan faktor-faktor produksi pertanian.
            Implikasinya adalah apakah system penyuluhan pertanian dengan metode latihan dan kunjungan (LAKU) seperti yang sangat popular pada periode Revolusi Hijau masih relevan saat ini atau tidak.  Petani perlu teman diskusi, pendorong motivasi yang mau mendengarkan keluhan serta jalan keluar menangani permasalahan yang dihadapi.
            Metode penyampaian informasi yang efektif untuk keperluan ini adalah pendekatan farmer-first (prioritas petani), suatu metode yang partisipatif dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan petani.
            Walaupun struktur kepemilikan tetap menjadi faktor utama pada pengambilan keputusan untuk mencapai tingkat efisiensi, tetapi tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor  produksi sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek institusi, seperti terbatasnya akses kredit, informasi pasar input dan output yang dihadapi oleh para petani kecil dan penyakap.
Operasionalisasi dan Langkah ke Depan
            Tekanan pembahasan lebih pada efisiensi penggunaan teknologi biologis-kimiawi seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dll. Perubahan fokus Revolusi Hijau Generasi Kedua ini harus dilakukan secara menyeluruh, lebih serius, dan dilengkap kebijakan public yang memadai. Penelitian dan penelusuran lebih dalam tentang hubungan fungsional antara tingkat penggunaan input produksi pertanian dengan aspek kelembagaan serta kondisi sos-ek yang melingkupi proses produksi masih harus terus-menerus dilakukan. Sementara itu, penentuan tingkat efisiensi teknis dan ekonomis, seperti pada fase sebelumnya, tetap diperlukan untuk mengetahui derajat kejenuhan penggunaan suatu input.
            Upaya operasionalisasi untuk mendukung Revolusi Hijau Generasi Kedua itu misalnya dapat diwujudkan melalui penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi produksi yang ampuh sesuai dengan kondisi agroklimat serta setting kelembagaan suatu daerah tertentu. Perbaikan kondisi sos-ek serta fungsi-fungsi kelembagaan tersebut dapat ditempuh melalui desentralisasi perumusan kebijakan teknologi (site-specific technologies) di bidang pertanian. Dalam jangka panjang, desentralisasi dapat mengurangi perbedaan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta produktivitas pertanian antarwilayah seperti yang dialami oleh Pulau Jawa dan pulau-pulau luar Jawa selama ini.
INSTITUSIONALISASI REVOLUSI HIJAU
            Pada beberapa tempat di negara-negara berkembang terjadi ketimpangan  pendapatan, tentu bukan karena andil Revolusi Hijau semata, tetapi lebih pada ketidakmampuan sutu proses perubahan teknologi dalam menjawab tekanan penduduk terhadap lahan-lahan pertanian. Sehingga isu sentral yang layak mendapat perhatian dalam waktu dekat adalah antisipasi fase institusionalisasi dalam perubahan teknologi pertanian, seperti yang akan diuraikan pada bab ini.
Revolusi Hijau Generasi Pertama
Revolusi Hijau disini merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian secara besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan terobosan baru hasil penelitian di bidang pertanian berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengelolaan air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll.
Di Indonesia, Revolusi Hijau dikenal pula dengan nama Sapta Usaha, yang meliputi :
1.      penggunaan benih dan varietas unggul
2.      pemberian pupuk dan pemupukan yang tepat
3.      pengaturan pola tanam
4.      pengaturan irigasi
5.      penanggulangan hama dan penyakit
6.      penyuluhan
7.      penanganan dan pemasaran pasca panen
Berkat usaha yang tidak kenal lelah para petani, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984, tetapi sangat disayangkan ketika pada awal dekade 1990-an Indonesia kembali pada daftar tetap impotir beras. Sebab utama penurunan produksi beras Indonesia adalah seperti kekeringan, gagal panen, hama penyakit, dan hilangnya areal sawah subur selama sepuluh tahun terakhir.
Teknologi biologis-Kimiawi yang selama ini adalah andalan dari revolusi hijau sudah mulai menurun dan erat kaitannya dengan penerimaan ekonomi negara secara agregat.
Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian telah masuk pada fase yang lebih efisien pada penggunaan faktor-faktor produki. Artinya, terdapat suatu aspek kelembagaan yang cukup krusial dan perlu mendapat perhatian yang memadai untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru di sektor pertanian. Para ahli menamakan fase ini Revolusi Hijau Generasi Kedua.

Revolusi Hijau Generasi Kedua
Revolusi Hijau Generasi Kedua tidak lagi berlandaskan pada peningkatan penggunaan input-input modern atau teknologi biologis-kimiawi, melainkan lebih berpedoman pada aspek efisiensi penggunaan bibit unggul,pupuk, pestisida dan lain sebagainya.
Di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi kelembagaan pasar pupuk serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi pupuk, semakin rendah tingkat penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat mempengaruhi produktivitas sektor pertanian.
Demikian pula tentang proses penyebaran informasi pertanian. Semakin sempurna aliran informasi sampai kepada petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi pertanian.

Langkah Antsipasi Ke Depan
1.      penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi produksi yang ampuh dan sesuai kondisi kelembagaan suatu daerah tertentu
2.      desentralisasi perumusan kebijakan teknologi di bidang pertanian melalui perbaikan sosial-ekonomi serta fungsi-fungsi kelembagaan yang ada
3.      pendekatan dialogis antara para petani, peneliti, dan petugas pertanian lapangan
4.      para pengamat, peneliti dan perumus kebijakan menyempurnakan adaptasi teknologi biologis-kimiawi


REVITALISASI PARADIGMA PEMBERDAYAAN PETANI
            Paradigma pemberdayaan petani masih belum mampu diterima secara baik di kalangan para ilmuwan pertanian dan pangan. Sementara itu, harapan yang terlmpau besar terhadap sektor pertanian sebagai penghela perekonomian dari krisis yang berkepanjangan. Beberapa anggapan klasik dan keyakinan sebagian besar masyarakat bahwa nusantara adalah tanah surga, tongat kayu pun bia jadi tanaman mungkin akan memperbesar harapan. Lebih kompleks lagi karena para praktisi di sektor pertanian mengatakan bahwa serangkaian masalah yang menyelimuti sektor pertanian bersumber dari luar sektor pertanian. Lihatlah betapa petani cabai, jagung sangat tidak berdaya menghadapi “kolusi harga” para pedagang besar. Demikian pula, petani harus melaksanakan paket-paket kebijakan titipan dengan dalih untuk kepentingan nasional yang lebih besar yakni swasembada pangan, diversifikasi peningkatan tanaman ekspor.
            Perhatian penelitian pertanian selama dua dasawarsa lebih berokus kepada pertanian tanaman pangan. Salah satu ciri penelitian di bidang pertanian di bidang tanaman pangan khususnya padi sawah adalah karakteristik penelitian komponen yang masih lebih dominan. Balai-balai penelitian cenderung melakukan penelitian replikasi beberapa komponen tekhnologi dengan suatu dsiplin ilmu tertentu. Hasil penelitian biasanya dikirim kepada para pejabat  pemerintah baik melalui saluran birokrasi maupun melalui saluran seminar, dari sinilah kemudian suatu paket kebijakan dirumuskan. Selanjutnya paket kebijakan disampaikan kepada para petani melalui penyuluhan. Hampir dapat dipastikan dengan pola seperti ini akan sedikit sekali terjadi interaksi antara penelitian, penyuluhan dan pengabdian masyarakat secara umum. Lebih parah lagi pola ini kebutuhan dan keinginan petani tidak dapat tersalurkan pada para peneliti. Hal ini tentu akan berakibat pada mandegnya dialog antar petani dan penyuluh pertanian lapangan karena paket tadi sudah tetap, dalam artian sedikit sekali peluang untuk menyesuaikan dan memodifikasi teknologi terhadap kebutuhan para petani.
            Mungkin benar bahwa paket ini dpat diktakan berhasil pada proses difusi atau alih tekhnologi pada padi sawah misalnya melalui paket “Revolusi Hijau”. Alasan utamannya adalah karena lingkungan fisik dan sosial ekonomi usahatani padi sawah beririgrasi relatif seragam. Akan tetapi, model atau pendekatan satu komando garis linier tentulah tidak dapat diterapkan pada lingkungan yang heterogen seperti pada pertanian lahan kering umumnya. Disinilah perlunya suatu sistem penelitian yang partisipatif dan interaktif-mutualistik dan mampu menjembatani petani, peneliti, dan petugas lpangan penelitian. Ide dan konsep penelitian dan pendekatan pembangunan partisipatif ini sebenarnya tidak baru dan pernah populer, tepatnya ketika terjadi debat tentang efektivitas program BIMAS (bimbingan masal) pada pertanian padi sawah. Pada penelitian partisipatif ini, agenda penelitian dirumuskan berdasar mekanisme informasi yang timbal balik antara kebutuhan petani dan petugas lapangan. Dalam hal ini peneliti lebih banyak berfungsi sebagai ujung tombak fasilitator, katalisator dai suatu proses perubahan dan alih tekhnologi antar lembaga penelitian dengan keadaan lapangan yang sesungguhnya.
            Pada sistem pertanian lahan kering, prasyarat yang hampir mutlak dipenuhi adalah bahwa komoditas, benih/bibit dan bahan tanam hendaknya lebih environment-specific. Disamping itu, dukungan melalui pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana pembangunan yang terencana dan memenuhi standar kebutuhan juga tetap diperlukan. Sebagai contoh ifrastruktur jalan desa dan jalan usaha tani. Prasyarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan perangkat lunak yang mendukung melalui desentralisasi pola pengembangan sumber daya manusia.

Inovasi Petani : Tulang Punggung Penelitin Pertanian
            Inovasi petani memang tidak pernah diabadikan dalam bentuk tulisan apalagi dimintakan hak paten ke Departemen Kehakiman. Kasus beras Cianjur, Cisadane, Rajalele dan Bengawan pada tahun 1970an adalah salah satu bentuk inovasi petani. Petani mempunyai tempat penyimpanan dan penangkaran benih sendiri di rumah, dan benih tersebut dicoba langsung di lapangan. Benih padi tersebut dinamakan varietas lokal yang kerap kali dihubung-hubungkan dengan produktivitas rendah, masa tanam lama dan tidak tahan terhadap pupuk. Melalui penyuluhan dari mulut ke mulut oleh petani, varietas unggul lokal tersebut menyebar cepat sekali hampir seluruh Jawa. Bahkan varietas lokal tersebut menyebar ke luar Jawa.
            Alasan utama mengapa petani memilih varietas lokal karena kualitas berasnya lebih bagus, lebih pulen dan rasa lebih enak dibaanding beras jenis IR (dari Institute Rice Reasearch di Filipina) dan PB (Peta Baru, hasil kreasi ilmuwan di Balai Benih Departemen Pertanian IPB). Alasan lain disamping karena kualitas rasa tadi, batang malai yang tidak getas, agak tinggi, tingkat patahan gabah tidak terlalu besar. Petani berinovasi sebagai hasil analisis permasalahan yang diakukannyaa sendiri. Petani kecil yang hanya mempunyai lahan sedikit memutar otak dengan cara mempraktekkan sistem tumpang sari dua atau lebih tanaman ditanam dan digilir pada sebidang tanah. Cerita lain tentang sebenarnya inovasi “tekhnologi” baru yang dilakukan oleh petani sebenarnya banyak sekali. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa inovasi petani sering diabaikan. Sebaliknya, jika petani tdak menggunakan tekhnologi baru, tidak menggunakan pupuk buatan, tidak menggunakan jarak tanam yang dianjurkan para petani sering dianggap kuno, terbelakang.
            Peneliti dan ilmuwan kadang lupa untuk mengerti bahwa kebun-kebun percobaan berada pada tingkat optimal dan lingkungan yang memadai, kesuburan tanah tinggi, dosis pupuk dan waktu pemupukan tepat dan hama penyakit tanaman ditanggulangi dengan baik. Peneliti sering tidak menyadari bahwa varietas baru jenis IR tersebut tidak akan pernah lepas dari permasalahan tingginya tingkat sensitivitas dan ketidaksuaian terhadap beberapa ragam lingkungn lapangan. Pernah ada survei mengenai bagaimana sikap dan pandangan ilmuwan, peneliti, penyuluh dan pegawai pemerintah terhadap inovasi  petani selama ini. Sebagian besar menyimpulkan bahwa inovasi dan kegiatan yang dilakukan petani selama ini adalah skeptis, terlalu mementingkan kegiatan yang sebenarnya tidak optimal dan sama sekai tidak ada landasan ilmiahnya. Sebagian saja yang menganggap bahwa kegiatan petani tersebut sangat berguna dan inovatif.
            Karena inovasi petani adalah tulang punggung penelitian di bidang petanian maka petani dan ilmuwan sama-sama harus dididik lagi. Akan lebih indah lagi jika petani juga diberi tambahan ilmu pengetahuan melalui usaha-usaha pemberdayaan posisi petani. Disinilah proses alih tekhnologi bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tapi harus dilengkapi dengan integrasi antar ilmuwan dan petani. Ilmuwan harus diberi pelajaran megenai seluk beuk petani kecil agar tidak terperangkap ke dalam mitos-mitos ketidakilmiahan inovasi yang dilakukan oleh petani.

Langkah Operasional Pelaksanaan
            Dari beberapa kasus proses alih tekhnologi pertanian mengenai penggunaan varietas unggul baru, penerapan pupuk, pestisida, dan penggunaan paket “Revolusi Hijau” pada beras dan beberapa komoditas andalan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk merumuskan langkah-langkah operasional. Kadang tersirat perasaan pesimis muncul terlebih dahulu di benak ilmuwan. Maksudnya, ilmuwan tidak kuasa menghadapi benturan-benturan birokrasi dan sering berguman bahwa tidak akan banyak yang dapat diperbuat jika keseluruhan sistem birokras dan profesionalisme tidak diubah. Langkah awal sebaiknya dimulai dari kita sendiri. Hal ini mungkin klasik dan terbilang klise tapi mungkin sangat berguna.
            Ada dua hal penting dalam mewujudkan langkah operasional untuk menerpkan pendekatan prioritas petani. Pertama dengan jalan memulai “proyek moral” dimana ada kesempatan ada sarana pendukung. Kedua dengan jalan mengubah perilaku dan tingkah laku sebelum mengubah sikap dan sifat. Berusaha mengubah sikap dan sifat hanya menghasilkan seperangkat kebingungan tanpa ada perubahan perilaku dan tigkah laku. Jika perjalanan sudah dimulai, pengalaman berharga akan diperoleh dan akan mempengaruhi sikap dan pola pikir karena sudah ada perubahan dalam perilaku dan tingkah laku. Dengan demikian, analisis oleh dan dengan petani menjadi titik awal permulaan langkah operasional menuju pendekatan prioritas petani. Langkah operasional berikutnya yang diperlukan adalah tersedianya wadah yang mantap bagi para petani untuk berinteraksi aktif dan berorganisasi. Kelompok tani yang timbul dibawah berlandaskan kekeluargaan dan kesukarelaan, karena berasal dari rakyat dan dilandasi semangat partisipasi tinggi. Secara umum strategi pembangunan yang berorientasi rakyat lebih menekankan pada pembangunan sumber daya manusia bukan prasarana fisik.
            Masalahnya sekarang adalah kemungkinan untuk memperluas pendekatan prioritas petani ini dalam skala yang lebih luas baik regional maupun nasional. Akan disarankan betapa pentingnya kehadiran jenis-jenis peneliti yang mampu merakyat dan membumi. Nanti akan dibutuhkan peneliti yang lebih besar dari biasanya karena si peneliti akan tinggal bersama petai dan mengalami kehidupan petani. Masaah seperti ini bisa mempunyai visi yang sangat luas, menyangkut hajat hidup orang banyak, berkaitan dengan kepentingan nasional dan internasional.

STRATEGI TEROBOSAN BARU DISTRIBUSI BAHAN POKOK
Sejak awal 1998 media massa sering mengangkat berita penimbunan atau menghilangnya barang-barang kebutuhan pokok seperti beras,gula pasir,tepung terigu,minyak goreng,susu,dan komoditas strategis lainnya dari pasaran.Sebagian besar kalangan menunjuk pada penimbunan sebagai biang keladi kelangkaan kebutuhan pokok dan mengharapkan terdapat proses dan sanksi hukum yang lebih memadai.Sebagian lagi menunjuk pada perilaku konsumen yang spekulatif,memborong kebutuhan pokok dalam jumlah besar,dengan alasan ketidakpastian perekonomian Indonesia.
`Reformasi struktural ekonomi,perdagangan luar negeri,investasi,deregulasi dan privatisasi meliputi pencabutan Badan Urusan Logistik (BULOG),kecuali beras.Pertanyaan logis dan skeptis pun bermunculan.Bagaimanakah sebenarnya kinerja distribusi dan manajemen persediaan terhadap kebutuhan pokok dan komoditas strategis di Indonesia ?Langkah apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin kelancaran aliran komoditas?Bagaimanakah kebijakan harga yang mampu memberikan manfaat yang adil dan berimbang baik kepada produsen,distributor dan konsumen?
Manajemen Stok Bahan Pokok
            Pertanyaan-pertanyaan diatas,tentunya sangat kompleks,karena karakteristik tiap bahan pokok berbeda.Sebagai contoh,Indonesia yang selama lebih dari satu dasawarsa mengalami kecukupan atau swasembada beras kini harus kembali menjadi daftar penghuni tetap negara penerima impor beras.Seluruh perhatian pun tertuju pada upaya peningkatan produksi dan produktifitas tanaman padi,langkah manajemen persediaan dan stabilisasi harga.
            Ditingkat lapangan hal itu dapat diterjemahkan sebagai pemberian intensif ekonomi,walau bukan berupa uang dan barang,seperti subsidi harga dasar dan harga faktor-faktor produksi yang meliputi benih,pupuk,pestisida dan lain-lain,yang bertujuan untuk petani agar lebih bergairah lagi untuk meningkatkan hasil produksi.Aspek produksi ini sangat bergantung pada cuaca dan alam serta faktor nonmarket seperti konversi lahan secara besar-besaran areal lahan subur di Jawa,tingkat sensifitas kegagalan produksi pada persediaan juga sangat besar.
            Di tingkat manajemen persediaan,hal diatas dapat diterjemahkan sebagai strategi dan kecukupan impor karena suplai beras dunia pun tidak terlalu banyak,serta manajemen alokasi anggaran dan cadangan sevisa serta pemantauan di lapangan yang berfungsi untuk melindungi sebagian besar konsumen yang sangat tergantung pada beras.Seperti diketahui,tingkat konsumsi Indonesia adalah yang paling besar,147 kg perkapita per tahun.Manajemen persediaan tentu saja berimpilkasi pada upaya pengurangan beras dengan kampanye diversifikasi pangan sumber karbohidrat selain beras dn protein serta zat nutrisi esensial yang terjangkau.
            Peranan pemerintah sebagai stabilisator harga pangan khususnya beras mempunyai dual objectives,untuk melindungi petani padaa musim panen dan menetapkan harga gabah dan beras setiap tahun disesuaikan dengan laju inflasi dan untuk melindungi konsumen pada saat musim tanam dan krisis ekonomi,dengan memberikan harga yang terjangkau melalui operasi pasar.Fungsi ideal logistik,distribusi dan stabilisasi harga beras,mutlak harus ditangani oleh pemerintah,dalam hal ini BULOG,dan tidak mungkin akan diberikan secara murni kepada pasar atau swasta,karena sektor swasta tidak mungkin akan memikirkan aspek pemerataan untuk masyarakat.
REFORMASI STRUKTURAL SISTEM DISTRIBUSI
            Komoditas bahan pokok yang menjadi perhatian utama dalam kerangka reformasi struktural adalah minyak goreng dalam negeri yang melibatkan komoditas potensial ekspor lain yaitu minyak kelapa sawit mentah.Kompleksitas distribusi minyak goreng ini diperparah oleh distorsi pasar yang terjadi pada komoditas CPO atau bahan baku utama industri minyak goreng setelah bahan baku minyak kelapa tak lagi populer.Distorsi pasar yang dimaksud adalah pajak ekspor CPO sejak Juli 1994,dicabut,diganti pajak ekspor tambahan dan terakhir larangan ekspor sampai bulan Maret 1998,dan bahkan akan diperpanjang.
            Fenomena pergerakan harga komoditas minyak goreng sebagai salah satu proses olahan dari CPO terkesan unik,karena keseimbangan harga baru tidak murni ditentukan oleh mekanisme pasar (persaingan sempurna).Pergerakan harga di tingkat konsumen lebih banyak dipengaruhi kombinasi faktor-faktor kekuatan produsen dan distributor minyak goreng yang cenderung menjadi satu sebagai tuntunan manajemen pemasaran modern,faktor psikologis dan faktor kepanikan ditentukan faktor eksternal perilaku konsumen.
            Sedangkan komoditas bahan pokok lain sebagian besar sangat tergantung pada impor,seperti tepung terigu,gula pasir,bawang putih dan lain-lain.Perhatian utama terpusat apada distribusi dan jaminan stabilitas harga  yang dapat terjangkau konsumen.Permasalahan distribusi komoditas ini tidak hanya pada pembebasan komoditas kepada sektor pasar tetapi juga terletak pada kinerja distribusi yang tidak efisien dalam beberapa kriteria:teknis dan ekonomis serta pemberian manfaat yang seimbang berdasarkan jasa yang dikeluarkan,langkah yang harus ditempuh harus terarah pada peningkatan efisiensi tersebut.
            Sebagian masyarakat Indonesia,termasuk para pengambil keputusan yang tidk siap dengan kondisi asimetri pasar seperti ini terkadang justru melakukan reaksi yang tidak terencana dengan baik.Dalam istilah ekonomi,kondisi tersebut,dinamakan kegagalan pasar atau suatu dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat karena pasar persaingan tidak sempurna.Istilah kegagalan pasar dapat dialamatkan pada lemahnya posisi tawar menawar produsen karena menghadapi konsumen tunggal yang mempunyai satu kekuatan.
            Barang kebutuhan pokok tersebut juga mengalami campur tangan dan salah urus kebijakan yang bertentangan.Dalam istilah ekonomi politik dinamakan kegagalan negara tau dampak negatif yang ditanggung masyarakat karena inefisiensi atau ketidakmampuan institusi  negara.Bentuk lain dari kegagalan negara adalah missmanagement,nepotisme,suap-menyuap,korupsi,kolusi,manipulasi,perburuan rente ekonomi untuk kepentingan pribadi.
            Perbaikan terhadap kondisi kegagalan pasar dan kegagalan negara pada saat bersamaan tersebut tentu tidak perlu sekaligus dan gegabah.Warning dari sebagian besar pakar dan pengamat ekonomi untuk tidak melakukan intervensi campur tangan pemerintah pada saat terjadi kegagalan negara juga patut untuk dicantumkan secara bijaksana.
Langkah Terobosan
            Berikut inimungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan langkah terobosan strategi distribusikmoditas strategis yang berjangka pendek,menengah dan panjang:
1.      Pemerintah masih diperlukan perannya dalam menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok.BULOG dengan sisa anggarannya masih diharapkan melakukan operasi pasar untuk beberapa komoditas strategis.Fungsi yang dijalankan pun dapat dikembalikan kepada  khittahnya sebagai stabilisator dan bukan pemain atau pelaku ekonomi.
2.      Saat kondisi sudah berangsur pulih,upaya reformasi struktural tentu harus disertai langkah stimulasi serta pemberian kemudahan yang diperlukan dalam memperlancar dan mengikis hambatan proses masuk  perusahaan baru ke dalam industri industri yang selama ini bertumpu pada kekuatan monopolis.
3.      Meninjau kembali strategi industrialisasi yang cenderung menghasilkan fenomena integrasi vertikal dari hulu sampai hilir dan bahkan konglomerasi di segala aspek  perekonomian.
PENUTUP
Agenda Kebijakan Pertanian ke Depan
Maksud dari agenda kebijakan Pertanian ke depan ini adalah agar perhatian terhadap diversifikasi pangan dan pengadaan beras yang berakibat langsung pada kesejahteraan rakyat Indonesia dapat lebih ditingkatkan efektifitasnya.
Beberapa agenda strategi kebijakan pertanian dan pangan untuk reformasi adalah sebagai berikut:
            Pertama, di sektor hulu strategi pengembangan usaha tani kea rah yang lebih berorientasi pasar dan agribisnis modern jelas amat diperlukan.Rincian strategi tersebut sangatlah luas meliputi :
·         Menyediakan  benih unggul di BBI dan BBU di Indonesia.
·         Perluasan subsidi pupuk .
·         Pelaksanaan kredit usaha tani dengan bunga murah.
·         Perbaikan teknik dan management petugas lapangan.
·         Sanksi hokum dan social yang tegas pada pelanggaran yang terjadi.
Kedua, di tingkat distribusi dan pengadaan bahan pangan pembenahan kerangka kerja “ penunjukan “ importir beras dan persyaratan rekanan yang jelas dan transparan.
Ketiga, penggunaan dana subsidi pengembangan pertanian dan pangan harus diarahkan agar lebih mengefektifkan biaya, sehingga tidak memperparah defisit dan pemborosan anggaran belanja negar.
Keempat, di bidang konsumsi bahan pangan, strategi diversifikasi pangan untuk tidak bergantung hanya beras yang pernah popular pada decade 1980-an agar segera ditindaklanjuti dijadikan agenda serius oleh pemerintah.
Kelima, agenda yang dapat mendukung strategi kebijakan produksi, distribusi dan konsumsi bahan pangan adalah peningkatan akselerasi pembangunan pedesaan dengan focus kepentingan golongan pendapatan rendah harus didukung dengan perangkat yang memadai.