Apr 26, 2019

Wae Rebo: Dua Hari tanpa Sinyal

Ada yang pernah dengar Wae Rebo? Mungkin nama desa ini masih belum terlalu familiar di telinga wisatawan domestik. Hal ini berbeda dengan wisatawan internasional, bahkan sudah banyak yang berkunjung kesana. Memang tidak mengherankan jika kita lebih familiar dengan tempat wisata negara lain, padahal negara kita sendiri memiliki banyak tempat wisata yang bahkan belum habis kita kunjungi.  Wae Rebo salah satu negeri di atas awan, selain Lolai Toraja dan Dieng yang sudah sangat familiar. Desa ini terletak di Kabupaten Manggarai Raya atau Manggarai Tengah, Nusa Tenggara Timur. Desa ini mendapat penghargaan tertinggi untuk kategori warisan budaya Asia-Pasifik loh dari UNESCO. Keren kan.

Wae Rebo dapat ditempuh dari berbagai rute. Disini saya kebetulan lewat Labuan Bajo. Perjalanan kesana ada berbagai alternatif pilihan dengan menyesuaikan budget masing-masing. Kalau tidak  terbiasa me-arrange perjalanan, ada pilihan privat dan opentrip dimana kita terima jadi urusan rute, transportasi, akomodasi, dan dokumentasi tinggal ikut instruksi tour guide. Namun kalau mau lebih hemat, bisa backpacker. Pengalaman kesana ikut privat trip 2d 1n biaya 2,5jt/peserta, jadwal sesuai request kita. Kalau opentrip kebanyakan 1,5jt-1,7jt/peserta, kita hanya bisa ikut jadwal yang sudah ada. Backpacker kemarin kebetulan ada kenalan ketemu disana cerita hanya habis 1,4jt untuk 2 org, namun mereka naik motor  dan menginap di rumah warga. Hemat sekali kan. 

Pengalaman privat trip, perjalanan dimulai dari penjemputan dari hotel jam 5 subuh. Terlalu subuh? Ya biar kita mendakinya tidak kemalaman. Dilanjut perjalanan darat selama 6 jam ke Desa Denge, kemudian kita istirahat makan siang. Nah, ini ada tempat makan siang yang menarik di tepi sawah. Makan dengan view bagus membuat selera makan naik. Hanya saya lupa nama tempat makannya.


Tempat Makan di Pinggir Sawah (Desa Denge)

Di perjalanan Labuan Bajo ke Desa Dintor, kita akan dapat melihat Pulau Mules atau Moles yang artinya pulau cantik. Penamaan ini karena memang bentuk pulaunya seperti seorang putri yang sedang tidur dengan posisi menghadap ke langit.

Pulau Mules atau Moles

Di sepanjang perjalanan juga kita akan berpapasan dengan kendaraan penumpang lokal, yakni truk yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi kendaraan penumpang. Truk diberi papan untuk tempat duduk penumpang sekaligus pembatas. Bagian bawah papan tempat duduk akan digunakan untuk tempat bahan bangunan atau belanjaan penumpang. Sayang kemarin tidak foto.

Batas yang bisa dilalui mobil adalah sampai di Desa Denge. Kemudian dari sana perjalanan dilanjut dengan menaiki ojek sekitar 15 menit untuk sampai ke Pos 1 Pendakian Wae Rebo. Sekedar info untuk yang berencana backpacker, kemarin sempat nanya ke tuang ojek biayanya 50rb sekali jalan. Di batas pemberhentian ojek, ada penyewaan tongkat bagi yang kakinya kurang kuat. Kalau tidak salah Rp10.000. Namun tongkat ini akan dikembalikan ketika kita turun nanti.  

Di Pos 1, kita akan dapat membaca pesan masyarakat lokal Wae Rebo sebagai tips bagi  para pengunjung. Beberapa diantaranya: kelola sampah, hormati alam, lindungi satwa liar dan habitatnya, jaga keselamatan, hati-hati, berjalan, dan hormati warga lokal. Oh ya, setiap tulisan termasuk Buku Pengenalan Wae Rebo dibuat dalam 2 bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Inggris. Hal ini mengingat pengunjung sudah banyak dari mancanegara.

Pos 1. Wae Lomba

Perjalanan trekking menuju Desa Wae Rebo sejauh 7 km rata-rata dapat ditempuh dalam 2-4 jam, tergantung kecepatan pengunjung. Perjalanan trekking dimulai dari Pos 1 dengan waktu tempuh ke Pos 2 sekitar 1-1,5 jam. Selama perjalanan ini sempat minta beberapa kali berhenti istirahat, maklum bukan pendaki gunung hehe.

Rute trekking yang kita lalui ini juga adalah rute yang dilalui masyarakat desa. Jadi tidak jarang dalam perjalanan kita berpapasan dengan masyarakat asli Wae Rebo. Jalur mereka memang hanya rute tersebut. Mereka membawa belanja, hasil pertanian, dan segala macamnya dengan cara dipikul. Termasuk solar bahan bakar genset dipikul karena Wae Rebo belum dialiri listrik juga. Salut.
Saya juga terkesan dengan penduduk asli desa. Semua yang berpapasan dengan kami akan menyapa “Selamat sore,Pak,Bu..” dengan senyum. Dan bahkan tidak jarang mereka juga menanyakan “Dari mana, Pak/Bu?”

Kalau dipikir, kenapa Dana Desanya tidak digunakan untuk perlahan membangun jalan ke desa supaya bisa dilalui kendaraan ya. Namun berdasarkan keterangan guide, ternyata memang disengaja untuk menjaga keaslian Desa.

Pos 2.  Poco Roko
   
Sampai di Pos 2, seakan setengah perjalanan sudah terlewati. Di Pos 2 kita sudah bisa melihat awan di bawah kita. Dari Pos 2 ke Pos 3 kita dapat tempuh sekitar 1-2 jam. Memang sesuatu yang indah dan berharga biasa butuh perjuangan lebih iya kan. Dijawab saja iya haha.

Seperti kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” di Pos 3 terdapat Pesan dari Masyarakat Kampung Wae Rebo buat pengunjung yang berisi  rule atau aturan bagi pengunjung. Salah satu yang menarik adalah “bantu mendidik anak kami dengan tidak memberikan sesuatu (permen,uang, mainan, atau kue) tanpa seijin orang tua mereka.” Menurut saya ini sangat bagus untuk membentuk mental dan mengajarkan anak tidak pamrih ketika memberikan bantuan kepada wisatawan. Karena hal ini salah satu tantangan tempat wisata di Indonesia yang terkadang membuat wisatawan kurang nyaman.

  
Pos 3. Nampe Bakok (Rumah Kasih Ibu)

Jarak dari Pos 3 ke Kampung Wae Rebo hanya 5 menit. Ketika hendak melanjutkan perjalanan dari Pos 3 ke Kampung, kita terlebih dahulu membunyikan alat tabuh bamboo yang disediakan di Rumah Kasih Ibu. Hal ini sebagai penanda datangnya tamu.

Setiap pengunjung yang baru tiba di Kampung Wae Rebo, harus terlebih dahulu ke rumah Gendang untuk mengikuti Upacara penghormatan leluhur (Waelu’u). Setelah ikut upacara baru diperkenankan beraktivitas di kampung. Upacara ini dimaksudkan bahwa pengunjung sudah diperkenalkan dan telah diterima, sehingga masyarakat tidak akan lagi bertanya siapa ketika berpapasan dengan pengunjung. Upacara ini juga dimaksudkan sebagai penghormatan pengunjung bagi para leluhur Wae Rebo. Ketika upacara berlangsung, tidak diperkenankan adanya dokumentasi. Konon pernah ada kejadian wisatawan asing yang sembunyi-sembunyi mengambil dokumentasi. Setelah dicek kamera keesokan harinya, seluruh gambar dan video upacara hilang alias tidak ada hiiii.

Rumah Gendang

Setelah dari Rumah Gendang, kita akan di arahkan ke Niang/ rumah kerucut lainnya sekaligus tempat beristirahat. Disini kita akan langsung disuguhkan kopi khas Flores. Bagi yang tidak kuat minum banyak, jangan sampe ketagihan ya.

Suguhan Kopi Flores


Di niang tepat kita beristirahat, terdapat Buku Pengenalan Wae Rebo. Buku ini memuat sejarah Wae Rebo, peta kampung, bagian-bagian niang/rumah kerucut beserta kegunaan, dan hasil pertanian masyarakat Wae Rebo. Dari buku, dapat kita ketahui sejarah singkat Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo meyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Empo Maro, seseorang yang berketurunan Minangkabau. Empo Maro dan keluarganya merantau mengarungi lautan dan mendarat di Labuan Bajo. Kemudian  melakukan perjalanan darat dan berpindah-pindah sampai suatu saat melihat ada kebulan asap dari arah gunung. Hal tersebut membuatnya penasaran dan mendatangi kampung tersebut. Empu Maro juga mendapat pesan melalui mimpi untuk hidup dan menghabiskan waktunya di Kampung yang sekarang kita kenal sebagai Wae Rebo, dimana sekarang keturunannya tinggal.

Di Kampung Wae Rebo, wisawatan akan tidur di satu niang. Masing-masing orang diberikan selimut, bantal dan kasur tipis yang sudah terpasang di bawah karpet masing-masing. Penasaran bentuknya? Begini tampilannya.

Tempat Tidur Pengunjung

Setiap makan pun dilakukan bersama. Hal ini membuat wisatawan semakin akrab dan sesuai dengan budaya negara kita.

Pengunjung Makan Malam Bersama

Di Wae Rebo kita menggunakan gadget/ hp palingan untuk foto. Disana tidak ada sinyal, otomatis tidak ada telepon dan internet. Karena keterbatasan sumber yang hanya menggunakan genset, kita hanya bisa charger gadget dari sore ke malam. Pagi alirannyanya sudah dimatikan. Wisatawan lebih memilih untuk saling bercengkrama, berbagi cerita, melihat keindahan dan budaya kampung. Kita tidak akan ada menemui orang yang sibuk dengan gadget sendiri.

Karena sampai di Kampung Wae Rebo sudah sore, jadi hanya sempat ambil foto malam sebelum tidur. Kebetulan bulan lagi tampak dan banyak bintang bertaburan. Menambah indah pandangan malam.

Pemandangan Wae Rebo malam hari

Setelah beristirahat, subuh biasanya wisatawan akan bangun cepat dan berburu sunrise. Begitu pagi menjelang, saatnya berburu foto. Bagaimana hasilnya? This is it.
Kampung Wae Rebo

Keren?!  Perjuangan pendakian sebelumnya terbayarkan dengan pemandangan yang menyejukkan mata ini. Kalau diliat secara keseluruhan, Kampung Wae Rebo terdiri dari 7 niang atau rumah kerucut. Orang sering menyebut kampung ini dengan Mbaru Niang.

Sekedar informasi, Desa Waerebo salah salah satu desa tertinggi di ndonesia, terletak di 1.200 mdpl loh. Jadi memang wajar cuaca disana agak dingin. Bagi yang ingin kesana jangan lupa bawa jaket dan kaos kaki ya.

Setelah puas berfoto, kemudian wisatawan akan dipanggil untuk sarapan bersama dan berkemas untuk pulang.

Jika perjalanan berangkatnya kami tempuh dalam 2 jam, perjalanan pulang lebih cepat. Record tour guide kami paling cepat turun sampai ke Pos 1 adalah 1,5 jam. Dan kali ini saya bilang kita harus  buat record baru. Ketika berangkat kami istirahat setiap 15 menit, ketika perjalanan pulang hanya istirahat 2 kali, yaitu di Pos 3 dan Pos 2. Total waktu kita istirahat sekitar 5 menit dan foto-foto 5 menit. Kita turun dengan jalan cepat dan sesekali lari-lari kecil. Dan setelah kita hitung, kita turun hanya dalam waktu 1 jam 5 menit!! Jeng jeng...Horayyy

Dari Pos 1 kemudian kita lanjut naik ojek menuju parkiran mobil seperti perjalanan berangkat. Karena paket trip yang saya ambil juga dengan Spider Rice Field, maka kami lanjut perjalanan kesana. Perjalanan dilanjut dengan menggunakan mobil sampai di Desa Cancar. Kemudian trekking kurang lebih 10 menit, namun agak menanjak.

Spider Rice Field

Sawah di Desa Cancar ini memang disengaja pembagiannya demikian untuk kawasan wisata. Pemberian namanya memang sesuai dengan bentuknya, yaitu menyerupai jaring laba-laba.
Setelah dari Cancar, kita melanjutkan perjalanan kembali ke Labuan Bajo.

Di jalan kita sempat mampir ke Le Cecile karena disana kebetulan menjual Nasi Kolo khas Labuan Bajo. Sebenarnya ini di luar trip, tapi sekalian karena penasaran belum ada coba kuliner khas dari mulai menginjakkan kaki di Labuan Bajo. Le Cecile menjadi tempat yang bagus juga untuk melihat sunset. Nasi Kolo disana harganya lumayan, 100rb. Nasinya dibakar di daun kemudian dimasukkan ke dalam bambu, dan disajikan dengan aneka lauk. Kalau di tempat saya cara masaknya mirip lemang, namun disini ketannya diganti nasi.

Sunset di Le Cecile dan Nasi Loko

Pemandangannya ciamik bukan? Kebetulan Le Cecile selain cafe, mereka juga menyediakan penginapan dan dilengkapi dengan kolam renang. Di NTT penjualan minuman alkohol dilegalkan pemerintah loh.

Setelah puas menikmati sunset dan makan di Le Cecile, kita pun melanjutkan perjalanan kembali ke Hotel. Dan Trip We Rebo pun berakhir.

Oh ya, sebagai tips bagi yang ingin ikut trip ke Wae Rebo biasa dimulai dari jam 5 pagi. Jadi memang sebaiknya mengambil penerbangan hari sebelumnya.