Wae Rebo dapat ditempuh dari berbagai rute. Disini saya kebetulan
lewat Labuan Bajo. Perjalanan kesana ada berbagai alternatif pilihan dengan menyesuaikan
budget masing-masing. Kalau
tidak terbiasa me-arrange perjalanan, ada pilihan privat dan opentrip dimana kita terima jadi urusan rute, transportasi, akomodasi,
dan dokumentasi tinggal ikut instruksi tour
guide. Namun kalau mau lebih hemat, bisa backpacker. Pengalaman kesana ikut privat trip 2d 1n biaya 2,5jt/peserta, jadwal sesuai request kita. Kalau opentrip
kebanyakan 1,5jt-1,7jt/peserta, kita hanya bisa ikut jadwal yang sudah ada. Backpacker kemarin kebetulan ada kenalan
ketemu disana cerita hanya habis 1,4jt untuk 2 org, namun mereka naik
motor dan menginap di rumah warga. Hemat
sekali kan.
Pengalaman privat trip,
perjalanan dimulai dari penjemputan dari hotel jam 5 subuh. Terlalu subuh? Ya
biar kita mendakinya tidak kemalaman. Dilanjut perjalanan darat selama 6 jam ke
Desa Denge, kemudian kita istirahat makan siang. Nah, ini ada tempat makan
siang yang menarik di tepi sawah. Makan dengan view bagus membuat selera makan naik. Hanya saya lupa nama tempat
makannya.
Di perjalanan Labuan Bajo ke Desa Dintor, kita akan dapat melihat Pulau Mules atau Moles yang artinya pulau cantik. Penamaan ini karena memang bentuk pulaunya seperti seorang putri yang sedang tidur dengan posisi menghadap ke langit.
Di sepanjang perjalanan juga kita akan berpapasan dengan
kendaraan penumpang lokal, yakni truk yang dimodifikasi sedemikian rupa menjadi
kendaraan penumpang. Truk diberi papan untuk tempat duduk penumpang sekaligus
pembatas. Bagian bawah papan tempat duduk akan digunakan untuk tempat bahan
bangunan atau belanjaan penumpang. Sayang kemarin tidak foto.
Batas yang bisa dilalui mobil adalah sampai di Desa Denge.
Kemudian dari sana perjalanan dilanjut dengan menaiki ojek sekitar 15 menit
untuk sampai ke Pos 1 Pendakian Wae Rebo. Sekedar info untuk yang berencana backpacker, kemarin sempat nanya ke
tuang ojek biayanya 50rb sekali jalan. Di batas pemberhentian ojek, ada
penyewaan tongkat bagi yang kakinya kurang kuat. Kalau tidak salah Rp10.000.
Namun tongkat ini akan dikembalikan ketika kita turun nanti.
Di Pos 1, kita akan dapat membaca pesan masyarakat lokal
Wae Rebo sebagai tips bagi para
pengunjung. Beberapa diantaranya: kelola sampah, hormati alam, lindungi satwa
liar dan habitatnya, jaga keselamatan, hati-hati, berjalan, dan hormati warga
lokal. Oh ya, setiap tulisan termasuk Buku Pengenalan Wae Rebo dibuat dalam 2
bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Inggris. Hal ini mengingat pengunjung sudah
banyak dari mancanegara.
Perjalanan trekking menuju Desa Wae Rebo sejauh 7 km rata-rata dapat ditempuh dalam 2-4 jam, tergantung kecepatan pengunjung. Perjalanan trekking dimulai dari Pos 1 dengan waktu tempuh ke Pos 2 sekitar 1-1,5 jam. Selama perjalanan ini sempat minta beberapa kali berhenti istirahat, maklum bukan pendaki gunung hehe.
Rute
trekking yang kita lalui ini juga adalah rute yang dilalui masyarakat desa.
Jadi tidak jarang dalam perjalanan kita berpapasan dengan masyarakat asli Wae
Rebo. Jalur mereka memang hanya rute tersebut. Mereka membawa belanja, hasil
pertanian, dan segala macamnya dengan cara dipikul. Termasuk solar bahan bakar
genset dipikul karena Wae Rebo belum dialiri listrik juga. Salut.
Saya juga terkesan dengan penduduk asli desa. Semua yang berpapasan dengan kami akan menyapa “Selamat sore,Pak,Bu..” dengan senyum. Dan bahkan tidak jarang mereka juga menanyakan “Dari mana, Pak/Bu?”
Saya juga terkesan dengan penduduk asli desa. Semua yang berpapasan dengan kami akan menyapa “Selamat sore,Pak,Bu..” dengan senyum. Dan bahkan tidak jarang mereka juga menanyakan “Dari mana, Pak/Bu?”
Sampai di Pos 2, seakan setengah perjalanan sudah terlewati. Di Pos 2 kita sudah bisa melihat awan di bawah kita. Dari Pos 2 ke Pos 3 kita dapat tempuh sekitar 1-2 jam. Memang sesuatu yang indah dan berharga biasa butuh perjuangan lebih iya kan. Dijawab saja iya haha.
Seperti kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” di Pos 3 terdapat Pesan dari Masyarakat Kampung Wae Rebo buat pengunjung yang berisi rule atau aturan bagi pengunjung. Salah satu yang menarik adalah “bantu mendidik anak kami dengan tidak memberikan sesuatu (permen,uang, mainan, atau kue) tanpa seijin orang tua mereka.” Menurut saya ini sangat bagus untuk membentuk mental dan mengajarkan anak tidak pamrih ketika memberikan bantuan kepada wisatawan. Karena hal ini salah satu tantangan tempat wisata di Indonesia yang terkadang membuat wisatawan kurang nyaman.
Seperti kata pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” di Pos 3 terdapat Pesan dari Masyarakat Kampung Wae Rebo buat pengunjung yang berisi rule atau aturan bagi pengunjung. Salah satu yang menarik adalah “bantu mendidik anak kami dengan tidak memberikan sesuatu (permen,uang, mainan, atau kue) tanpa seijin orang tua mereka.” Menurut saya ini sangat bagus untuk membentuk mental dan mengajarkan anak tidak pamrih ketika memberikan bantuan kepada wisatawan. Karena hal ini salah satu tantangan tempat wisata di Indonesia yang terkadang membuat wisatawan kurang nyaman.
Pos 3. Nampe Bakok
(Rumah Kasih Ibu)
Jarak dari Pos 3 ke Kampung Wae Rebo hanya 5 menit. Ketika hendak melanjutkan perjalanan dari Pos 3 ke Kampung, kita terlebih dahulu membunyikan alat tabuh bamboo yang disediakan di Rumah Kasih Ibu. Hal ini sebagai penanda datangnya tamu.
Setelah dari Rumah Gendang, kita akan di arahkan ke Niang/ rumah kerucut lainnya sekaligus tempat beristirahat. Disini kita akan langsung disuguhkan kopi khas Flores. Bagi yang tidak kuat minum banyak, jangan sampe ketagihan ya.
Suguhan Kopi Flores
Di niang tepat kita beristirahat, terdapat Buku
Pengenalan Wae Rebo. Buku ini memuat sejarah Wae Rebo, peta kampung,
bagian-bagian niang/rumah kerucut beserta kegunaan, dan hasil pertanian masyarakat
Wae Rebo. Dari buku, dapat kita ketahui sejarah singkat Wae Rebo. Masyarakat
Wae Rebo meyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Empo Maro, seseorang yang
berketurunan Minangkabau. Empo Maro dan keluarganya merantau mengarungi lautan
dan mendarat di Labuan Bajo. Kemudian
melakukan perjalanan darat dan berpindah-pindah sampai suatu saat
melihat ada kebulan asap dari arah gunung. Hal tersebut membuatnya penasaran
dan mendatangi kampung tersebut. Empu Maro juga mendapat pesan melalui mimpi
untuk hidup dan menghabiskan waktunya di Kampung yang sekarang kita kenal sebagai
Wae Rebo, dimana sekarang keturunannya tinggal.
Di Kampung Wae Rebo, wisawatan akan tidur di satu niang. Masing-masing orang diberikan selimut, bantal dan kasur tipis yang sudah terpasang di bawah karpet masing-masing. Penasaran bentuknya? Begini tampilannya.
Tempat Tidur
Pengunjung
Setiap makan pun dilakukan bersama. Hal ini membuat wisatawan semakin akrab dan sesuai dengan budaya negara kita.
Di Wae Rebo kita menggunakan gadget/ hp palingan untuk foto. Disana tidak ada sinyal, otomatis tidak ada telepon dan internet. Karena keterbatasan sumber yang hanya menggunakan genset, kita hanya bisa charger gadget dari sore ke malam. Pagi alirannyanya sudah dimatikan. Wisatawan lebih memilih untuk saling bercengkrama, berbagi cerita, melihat keindahan dan budaya kampung. Kita tidak akan ada menemui orang yang sibuk dengan gadget sendiri.
Karena sampai di Kampung Wae Rebo sudah sore, jadi hanya
sempat ambil foto malam sebelum tidur. Kebetulan bulan lagi tampak dan banyak
bintang bertaburan. Menambah indah pandangan malam.
Setelah beristirahat, subuh biasanya wisatawan akan bangun cepat dan berburu sunrise. Begitu pagi menjelang, saatnya berburu foto. Bagaimana hasilnya? This is it.
Keren?! Perjuangan pendakian sebelumnya terbayarkan dengan pemandangan yang menyejukkan mata ini. Kalau diliat secara keseluruhan, Kampung Wae Rebo terdiri dari 7 niang atau rumah kerucut. Orang sering menyebut kampung ini dengan Mbaru Niang.
Sekedar informasi, Desa Waerebo
salah salah satu desa tertinggi di ndonesia, terletak di 1.200 mdpl loh. Jadi memang wajar cuaca disana agak dingin. Bagi yang ingin
kesana jangan lupa bawa jaket dan kaos kaki ya.
Setelah puas berfoto, kemudian
wisatawan akan dipanggil untuk sarapan bersama dan berkemas untuk pulang.
Jika perjalanan berangkatnya kami tempuh dalam 2 jam, perjalanan pulang lebih cepat. Record tour guide kami paling cepat turun sampai ke Pos 1 adalah 1,5 jam. Dan kali ini saya bilang kita harus buat record baru. Ketika berangkat kami istirahat setiap 15 menit, ketika perjalanan pulang hanya istirahat 2 kali, yaitu di Pos 3 dan Pos 2. Total waktu kita istirahat sekitar 5 menit dan foto-foto 5 menit. Kita turun dengan jalan cepat dan sesekali lari-lari kecil. Dan setelah kita hitung, kita turun hanya dalam waktu 1 jam 5 menit!! Jeng jeng...Horayyy
Dari Pos 1 kemudian kita lanjut naik ojek menuju parkiran mobil seperti perjalanan berangkat. Karena paket trip yang saya ambil juga dengan Spider Rice Field, maka kami lanjut perjalanan kesana. Perjalanan dilanjut dengan menggunakan mobil sampai di Desa Cancar. Kemudian trekking kurang lebih 10 menit, namun agak menanjak.
Sawah di Desa Cancar ini memang
disengaja pembagiannya demikian untuk kawasan wisata. Pemberian namanya memang
sesuai dengan bentuknya, yaitu menyerupai jaring laba-laba.
Setelah dari Cancar, kita melanjutkan perjalanan kembali ke Labuan Bajo.
Setelah dari Cancar, kita melanjutkan perjalanan kembali ke Labuan Bajo.
Di jalan kita sempat mampir ke Le Cecile karena disana
kebetulan menjual Nasi Kolo khas Labuan Bajo. Sebenarnya ini di luar trip, tapi
sekalian karena penasaran belum ada coba kuliner khas dari mulai menginjakkan
kaki di Labuan Bajo. Le Cecile menjadi tempat yang bagus juga untuk melihat
sunset. Nasi Kolo disana harganya lumayan, 100rb. Nasinya dibakar di daun
kemudian dimasukkan ke dalam bambu, dan disajikan dengan aneka lauk.
Kalau di tempat saya cara masaknya mirip lemang, namun disini ketannya diganti nasi.
Sunset di Le Cecile
dan Nasi Loko
Pemandangannya ciamik bukan? Kebetulan Le Cecile selain cafe, mereka juga menyediakan penginapan dan dilengkapi dengan kolam renang. Di NTT penjualan minuman alkohol dilegalkan pemerintah loh.
Setelah puas menikmati sunset dan
makan di Le Cecile, kita pun melanjutkan perjalanan kembali ke Hotel. Dan Trip
We Rebo pun berakhir.
Oh ya, sebagai tips bagi yang
ingin ikut trip ke Wae Rebo biasa dimulai dari jam 5 pagi. Jadi memang
sebaiknya mengambil penerbangan hari sebelumnya.
No comments:
Post a Comment